ShareThis

RSS

WPAP (Wedha's Pop Art Potrait)

Karya seni Indonesia tak lagi kuno sejak kelahiran WPAP. Kini buah karya anak Indonesia itu siap berlenggang di ranah internasional.
Ayu Tri Lestari


salah satu karya Pop Art, dok. Orientasi
BILA belum pernah mendengar WPAP, kamu mungkin akan secepat kilat membalik halaman kolom ini. Namun tunggu dulu, tulisan ini akan mencukil sedikit definisinya. Wedha?s Pop Art Portrait (WPAP) menurut pengarangnya, Wedha Abdul Rasyid, merupakan salah satu seni pop art dengan cara tracing
(menjiplak) foto untuk kemudian dibuat bidang-bidang yang tidak memakai kurva. Bidang-bidang tersebut selanjutnya diberi warna tersier yang dikelompokkan berdasarkan gelap terang warna.
“Nah, semua perbedaan tersebut sudah membentuk perbedaan ruang,” imbuhnya. WPAP yang pada awal kemunculannya bernama Foto Marak Berkotak (FMB) ‘mengharamkan’ penggunaan skin tone dan garis lengkung. Itulah yang menjadi ciri dan identitas WPAP. Bahkan Slamet Riyadi, seorang pecinta seni WPAP yang juga mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer Institut Pertanian Bogor (IPB), mempunyai slogan ‘jangan ada kurva di antara kita’.
Namun, apa yang terlintas di pikiran jika menemukan kata pop art? Seni dengan warna terang? Seni milik Andy Warhol? Atau seni yang meminjam simbol-simbol terkenal seperti tokoh Crayon Shinchan? Apa pun itu, yang jelas, pop art selalu identik dengan gaya barat. Ironisnya, jika seorang anak kecil menggambar, komik ala manga atau tokoh-tokoh Disney yang dominan tercipta. Seperti yang diungkapkan anggota komunitas WPAP Gunawan Syarifuddin di sela-sela kesibukannya. “Sementara kalau seni dari Indonesia seperti Gundala Putra Petir kurang sukses (merebut hati anak-anak),” tukas mahasiswa Universitas Mercu Buana tersebut.
Bila kita bicara tentang nasionalisme, tentang kebanggaan akan budaya hasil karya cipta anak negeri, WPAP merupakan salah satu representasinya dalam bidang seni. Baik Wedha maupun komunitasnya ingin agar WPAP bisa diakui sebagai karya pop art asli Indonesia. Sebab dari sisi seni, Indonesia masih ‘dijajah’ bangsa lain, contohnya komik, manga, dan Marvel. “WPAP sebagai seni yang modern punya chance untuk memiliki nama di dunia,” ujar Gunawan yang saat diwawancarai memakai kostum serba hitam khas seniman. Itu juga yang menjadi misi dari teman-teman komunitas, yaitu memopulerkan WPAP.
Beragam daya dan upaya telah dilakukan untuk mengembangkan sayap WPAP ke kancah dunia. Di antaranya, mengadakan pameran-pameran karya seni anggota komunitas yang telah mengalami penggemblengan dan dianggap layak untuk dipamerkan, seperti di Grand Indonesia, Gandaria City, dan terakhir di Java Jazz. Beruntung anggota komunitas tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam karena mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi. Pemanfaatan koneksi sangat diandalkan untuk kelancaran sebuah pameran. “Kita dapat dana dan tempat untuk pameran karena ada sejumlah volunteer yang juga merupakan anggota komunitas itu, karena mereka dari beragam profesi,” aku Gunawan. Tentu beragamnya profesi bukan tanpa alasan. “Mereka (anggota komunitas) pada dasarnya suka menggambar, tetapi untuk sampai detail tidak bisa. Cara WPAP dianggap lebih mudah,” ungkap Wedha, yang mengawali karier sebagai ilustrator di Mingguan Jaya.
Namun, ternyata dunia maya mempunyai peran dan magnitude yang berarti dalam menyebarkan seni WPAP. Hal itu terbukti ketika Wedha merambah ke jejaring sosial Facebook untuk mempromosikan seni WPAP. “Tadinya cuma asyik (diskusi) di Facebook saja, akhirnya mereka (para pecinta WPAP) memutuskan untuk bertemu kemudian sepakat untuk membuat komunitas dan website,” jelasnya.
Dari Facebook, seni tersebut berkembang ke website. Dari situlah anggota merambah ke pelosok Tanah Air. Misalnya, Slamet atau biasa disapa Mamet, yang berdomisili di Bogor. “Saya ikut komunitas ini sudah sekitar delapan bulan dan merupakan anggota angkatan ketiga.” Sejak kemunculannya pada 90-an dan sempat terbiaskan sekitar sepuluh tahun, akhirnya lambat laun WPAP mulai menunjukkan eksistensinya.
Keceriaan warna-warna yang ditonjolkan menciptakan tantangan dan ketertarikan tersendiri bagi sebagian orang. “Permainan warna itu letak menariknya,” ungkap Ranov Siska, mahasiswa Broadcasting UMB. Lain halnya dengan Hariyoko Imam Wahyudi, mahasiswa Komunikasi Visual UMB yang melihat sebuah keindahan WPAP ketika sebuah foto bisa menghasilkan bentuk lain.
“Menariknya adalah ketika sebuah foto bisa diimajinasikan ke sebuah karya lain,” ungkapnya. Wujud eksistensi bahkan sudah ke mancanegara. “Ketika Obama kampanye, saya mewakili satu-satunya dari Indonesia (untuk kontribusi karya) di poster,” ungkap Wedha.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar